Ketika mendengar kata pelabuhan, yang terbayang biasanya laut, kapal, dan dermaga. Namun, Bandung yang jauh dari pantai ternyata pernah memiliki “pelabuhan” yang sibuk pada masanya—bukan untuk kapal, melainkan pesawat terbang. Namanya Pelabuhan Darat Andir, yang kelak dikenal sebagai Bandara Husein Sastranegara.
Awal Mula di Tengah Kota Kembang
Kisahnya dimulai pada awal abad ke-20, sekitar 1918–1921, saat pemerintah kolonial Belanda membangun lapangan terbang di kawasan Andir. Lahan yang dipilih datar, strategis, dan tak jauh dari pusat kota. Awalnya, tempat ini hanya untuk kepentingan militer KNIL (Tentara Hindia Belanda), namun perlahan juga melayani penerbangan sipil.
Bayangkan suasananya: lapangan luas berumput, deretan hanggar kayu, dan deru pesawat baling-baling yang menggema di udara Bandung yang sejuk. Warga setempat sering berkumpul di pinggir pagar, menatap kagum setiap kali pesawat lepas landas atau mendarat.

Gerbang Dunia bagi Bandung
Bagi Bandung kala itu, Andir adalah pintu menuju dunia. Jalur udara menghubungkan Kota Kembang dengan Batavia, Surabaya, bahkan Singapura. Tak heran jika warga menyebutnya “pelabuhan darat”—tempat orang berangkat dan tiba membawa kabar dari luar kota, bahkan luar negeri.
Pada tahun 1937, Andir menjadi saksi persinggahan Amelia Earhart, pilot perempuan legendaris Amerika Serikat, dalam perjalanan keliling dunianya. Kehadirannya memicu keramaian luar biasa, membuktikan bahwa Bandung pernah menjadi titik penting dalam peta penerbangan internasional.
Masa Perang dan Perubahan Nama
Masa damai itu berakhir pada 1942, ketika Jepang menguasai Hindia Belanda. Andir dijadikan basis militer udara. Selepas kemerdekaan, lapangan ini tetap memegang peranan penting, termasuk pada masa Agresi Militer Belanda I tahun 1946.
Tahun 1950, namanya resmi diganti menjadi Bandara Husein Sastranegara, mengenang pahlawan penerbang Indonesia yang gugur dalam tugas.
Masa Keemasan dan Senja
Pada 1980–1990-an, bandara ini menjadi gerbang utama wisatawan ke Bandung. Suasananya selalu ramai—taksi menunggu di pintu keluar, pedagang asongan menjajakan koran dan minuman, dan aroma khas udara Bandung menyambut setiap pendatang.
Namun, keterbatasan kapasitas dan perkembangan kota membuatnya mulai kehilangan peran. Sejak Bandara Kertajati di Majalengka beroperasi pada 2016, Husein Sastranegara tak lagi sepadat dulu.
Jejak yang Masih Tersisa
Kini, beberapa bangunan kolonial di sekitar bandara masih berdiri, menjadi saksi bisu ketika Bandung pernah memiliki pelabuhan—meski tak pernah bersentuhan dengan laut. Kisahnya mengingatkan kita bahwa sejarah sebuah kota tak selalu ada di buku pelajaran, tapi juga di tempat-tempat yang diam namun menyimpan cerita besar.









