Ondel-Ondel dan Kerak Telor Terus Hidup di Jakarta, Tapi di Mana Kini Orang Betawi?

banner 468x60


Di antara kemacetan Jakarta yang kian tak terkendali, ada satu pemandangan yang memicu perenungan: menyaksikan ornamen Gigi Balang tersemat di gedung-gedung megah. Sebuah kewajiban simbolis sesuai Peraturan Daerah, namun terasa penuh ironi. Ironi yang sama tercermin saat menemukan Ondel-ondel tengah mengamen di persimpangan jalan, membawa wadah sumbangan di tengah lalu lintas padat. Ikon kebanggaan kota, yang secara historis berfungsi sakral sebagai penolak bala, justru bertransformasi menjadi representasi perjuangan ekonomi warganya sendiri.
Fenomena ini mengingatkan saya pada sebuah bentuk perlawanan sunyi. Ini bukan tentang gerakan Yomango di Eropa yang mempromosikan pengutilan sebagai ideologi anti-korporasi. Namun, ada sebuah benang merah yang menghubungkannya: jika di sana lahir perlawanan terhadap konsumerisme, di sini muncul perlawanan terhadap keterpinggiran di tanah kelahiran sendiri.
Etnis Betawi, yang identitasnya terbentuk sebagai produk kreolisasi urban Batavia, ironisnya menjadi korban utama modernisasi kota yang melahirkannya. Visi pembangunan Gubernur Ali Sadikin, yang di satu sisi peduli pada pelestarian budaya, pada praktiknya dieksekusi melalui pembangunan agresif yang mengorbankan kampung-kampung tradisional. Komunitas Betawi menjadi korban yang paling terdampak oleh penggusuran, memulai eksodus sistematis dari pusat kota menuju wilayah pinggiran hingga ke Bodetabek.
Stereotip “Betawi tukang jual tanah” kerap dilekatkan secara negatif, padahal fenomena tersebut merupakan respons kompleks terhadap tekanan struktural: dari kebutuhan mendesak, ketidakmampuan membayar PBB (Pajak Bumi dan Bangunan), hingga persaingan di pasar kerja formal. Kehilangan tanah berarti kehilangan basis mata pencaharian tradisional, menciptakan siklus keterpinggiran ekonomi. Konsekuensinya termanifestasi dengan gamblang: Ondel-ondel yang sakral berubah fungsi menjadi strategi bertahan hidup di jalanan.
Akan tetapi, di tengah narasi kemunduran ini, muncul bentuk adaptasi dan perlawanan kreatif, sebuah covert resistance (perlawanan terselubung) yang digerakkan oleh generasi muda. Mereka menolak menjadi objek pelestarian yang pasif dan secara aktif merebut kembali narasi identitasnya di era modern. Wujudnya adalah industri kreatif, khususnya melalui distribution outlet (distro) bertema Betawi. Dengan mengemas simbol budaya seperti siluet Si Pitung atau kutipan jenaka ke dalam desain modern, mereka berhasil menjadikan budaya Betawi relevan bagi kaum muda sekaligus membangun narasi tandingan yang positif.
Ini bukan lagi sekadar menjual produk, melainkan sebuah manuver untuk menantang citra “terpinggirkan”. Sebuah perlawanan yang lahir bukan dari abstraksi ideologis, tetapi dari urgensi nyata untuk tetap eksis dan relevan di tengah kota yang terus berubah.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *