Kapten Muslihat: Kisah Pahlawan 19 Tahun Pengubah Bogor yang Terlupaka

banner 468x60

 

Apa jadinya bila seorang kaya raya menggunakan privilesenya untuk bangsa? Dengan akses pendidikan, akses relasi “premium”, Tubagus Muslihat justru menggunakannya demi bangsa, hingga wafat di usia belia.Selain menyoal pilihan angkot mana yang paling cepat sampai ke Stasiun Bogor atau meratapi nasib Taman Topi yang tinggal kenangan, ada satu nama yang selalu melintas saat melewati jantung kota: Kapten Muslihat. Kita hafal namanya dari plang jalan besar itu. Mungkin kita juga ingat patungnya yang gagah, penanda seorang pemuda yang gugur heroik di usia 19 tahun. Sebuah narasi yang ringkas, patriotik, dan sayangnya, dangkal.
Membaca riwayatnya sontak mengingatkan saya pada betapa sejarah seringkali menyederhanakan sesuatu menjadi poster belaka. Narasi Kapten Muslihat yang dominan adalah kematiannya yang tragis. Padahal, jika ditukil lebih dalam, kontribusi terbesarnya bukanlah saat ia roboh oleh peluru, melainkan pada bulan-bulan genting sebelumnya. Ia bukanlah sekadar martir, ia adalah arsitek perlawanan bersenjata di Kota Hujan.
Bagaimana tidak, dalam lanskap perjuangan yang terfragmentasi; di mana Tentara Keamanan Rakyat (TKR) yang baru lahir harus bersaing pengaruh dengan puluhan laskar rakyat independen, Muslihat justru menjadi jembatan. Riset menunjukkan perannya sebagai koordinator dalam serangan gabungan TKR dengan Laskar Rakyat dan Hizbullah ke markas Kidobutai (satuan transportasi Jepang) di Leuwiliang pada September 1945.Aksi ini bukan sekadar pertempuran biasa, melainkan sebuah operasi logistik yang brilian. Para pejuang berhasil merampas kembali properti perang: mobil pengangkut senjata, kuda, hingga kain untuk bendera Merah Putih. Rampasan inilah yang menjadi bahan bakar bagi perlawanan di Bogor untuk menghadapi Sekutu yang bersenjata lebih lengkap. Kemenangan ini adalah sebuah perampasan kembali atas alat-alat kekuasaan, sebuah aksi krusial yang menopang kedaulatan yang baru diproklamasikan. Tanpa aksi di Leuwiliang, kisah perlawanan di Bogor mungkin akan sangat berbeda.
Namun, kematiannya yang terlalu dini pada Desember 1945, jauh sebelum konflik besar seperti Agresi Militer Belanda, seolah membekukan warisannya. Namanya tenggelam di bawah narasi historiografi nasional yang terobsesi pada “orang-orang besar”, meminggirkan para arsitek lokal yang sesungguhnya menjadi fondasi revolusi.
Pada akhirnya, kisah Kapten Muslihat adalah pengingat bahwa di balik setiap nama jalan atau patung pahlawan, ada kontribusi substantif yang seringkali terlupakan. Wasiatnya yang paling terkenal; meminta anaknya dinamai Merdeka, bukan hanya idealisme kosong. Itu adalah penegasan atas perjuangan yang telah ia bangun fondasinya: sebuah kemerdekaan yang dipersenjatai, salah satunya, lewat penyerbuan sunyi di Leuwiliang.

banner 300x250

Pos terkait

banner 468x60

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *