Kalau kamu tanya siapa pahlawan di balik Jalan Sudirman, orang akan jawab Jenderal Sudirman. Tapi coba tanya siapa Dr. Sumeru. Yang muncul kemungkinan besar bukan wajah pahlawan, tapi rute angkot 01 atau lokasi RSUD Kota Bogor. Nama ini tampak begitu fungsional, seolah-olah tidak memiliki narasi yang mendalam. Belakangan ini, saya baru sadar: kebingungan itu wajar. Hal ini mungkin karena Dr. Sumeru sebagai individu pahlawan kemungkinan besar tidak pernah ada.
Membaca soal ini sontak mengingatkan saya pada proses bagaimana ingatan kolektif bisa mengalami erosi. Nama jalan itu ternyata semacam spin-off yang kehilangan kontak dengan serial utamanya: Dr. H. Marzoeki Mahdi, sosok yang namanya terpatri di rumah sakit jiwa bersejarah persis di jalan tersebut. Nama “Sumeru” sendiri kemungkinan adalah bentuk penyederhanaan atau nama panggilan yang terdisosiasi dari nama aslinya, fenomena di mana makna historis sebuah nama jalan memudar seiring waktu.
Lalu siapa Dr. Marzoeki Mahdi? Ia adalah pelopor kesehatan jiwa di Indonesia, bukan dokter biasa. Ia memimpin sebuah revolusi senyap di rumah sakit yang didirikan tahun 1882 dengan nama yang mengerikan, Hetkrankzinnigengestich te Buitenzorg, atau secara harfiah “penampungan untuk orang gila”. Di tangannya, pendekatan yang tadinya hanya mengurung dan mengasingkan pasien, diubah menjadi model terapeutik yang humanis, sebuah lompatan peradaban untuk psikiatri di Indonesia.
Sama seperti alumni STOVIA lainnya macam Cipto Mangunkusumo, ia adalah seorang dokter-nasionalis. Profesinya adalah platform perjuangan. Dan ini bagian yang paling sinematik: dalam kancah revolusi, ia berperan sebagai “dokter pejuang” yang secara spesifik tercatat sebagai dokter khusus dari Kapten Tubagus Muslihat, pahlawan ikonik Bogor. Stetoskopnya tidak hanya untuk merawat jiwa, tapi juga raga para pejuang kemerdekaan.
Oleh karena itu, ketika kita melintasi Jalan Dr. Sumeru, kita sebenarnya tidak hanya melewati sebuah jalan dengan nama yang tampak kabur. Kita sedang melintasi jejak seorang pelopor kesehatan jiwa sekaligus dokter pejuang revolusi. Sebuah pengingat bahwa di balik nama yang terasa fungsional, tersimpan narasi besar yang terkikis oleh waktu, menunggu untuk digali kembali.









