Bekasi kembali dilanda banjir besar pada awal Maret 2025. Air setinggi dua hingga tiga meter merendam sejumlah kecamatan seperti Jatiasih, Pondok Gede, dan Rawalumbu. Ribuan warga harus mengungsi, sementara arus lalu lintas menuju Jakarta lumpuh berhari-hari. Peristiwa ini menegaskan kembali bahwa banjir di Bekasi bukanlah kejadian alamiah semata, melainkan buah dari tata kelola yang lemah dan janji pemerintah yang belum sepenuhnya ditepati.
Janji Infrastruktur yang Tertunda
Sejak banjir besar 2020, Pemerintah Kota Bekasi bersama pemerintah pusat menggulirkan berbagai rencana mitigasi: perbaikan saluran drainase utama, pembangunan kolam retensi di perbatasan timur, serta normalisasi Kali Bekasi. Namun, data realisasi anggaran 2024 menunjukkan hanya 40 persen proyek yang terealisasi. Audit BPK bahkan menyoroti adanya alokasi dana yang tersedot ke belanja rutin, bukan pembangunan fisik.
Keterlambatan proyek ini memunculkan pertanyaan: sejauh mana komitmen pemerintah daerah terhadap janji infrastruktur? Masyarakat Bekasi, yang setiap tahun harus menghadapi risiko rumah terendam dan aset rusak, wajar jika mulai meragukan efektivitas kebijakan ini.
Kepentingan Ekonomi dan Tata Ruang
Selain faktor infrastruktur, masalah banjir Bekasi erat kaitannya dengan tata ruang. Pertumbuhan kawasan perumahan dan industri di sepanjang bantaran Kali Bekasi dan Cikeas mengurangi daya resap tanah. Data Dinas Tata Ruang menyebutkan, dalam lima tahun terakhir, lahan resapan berkurang hampir 30 persen. Di sisi lain, izin pembangunan tetap dikeluarkan, bahkan untuk proyek yang jelas-jelas berada di kawasan rawan banjir.
Kondisi ini mengindikasikan adanya tarik-menarik kepentingan ekonomi antara pemerintah daerah dan pengembang. Bagi warga, konsekuensinya jelas: banjir yang semakin parah dan semakin sering.
Dampak Sosial dan Ekonomi
Dampak banjir 2025 tidak hanya pada kerusakan fisik. Data BNPB mencatat, lebih dari 15 ribu warga harus mengungsi, dengan kerugian ekonomi ditaksir mencapai Rp 750 miliar. Sekolah-sekolah terpaksa diliburkan, distribusi logistik ke sejumlah kawasan terhambat, dan banyak pelaku UMKM kehilangan sumber pendapatan.
Dalam jangka panjang, banjir berulang bisa menimbulkan fenomena urban flight: warga kelas menengah memilih pindah ke wilayah lain yang lebih aman, meninggalkan kawasan yang rentan sebagai kantong kemiskinan baru. Fenomena ini sudah terlihat sejak banjir 2020, dan kini semakin nyata.
Evaluasi dan Jalan ke Depan
Masalah banjir Bekasi 2025 bukan hanya soal curah hujan tinggi. Ia adalah hasil dari kombinasi tata ruang yang amburadul, proyek infrastruktur yang macet, dan lemahnya pengawasan anggaran.
Untuk keluar dari siklus banjir tahunan, ada tiga langkah mendesak:
- Transparansi Anggaran: Pemerintah daerah wajib membuka data realisasi proyek drainase dan normalisasi sungai agar publik bisa mengawasi.
- Penegakan Tata Ruang: Penghentian izin pembangunan di kawasan rawan banjir harus menjadi prioritas, sekalipun bertabrakan dengan kepentingan pengembang.
- Kolaborasi Pemerintah Pusat dan Daerah: Masalah banjir Bekasi tidak bisa diatasi hanya dengan kebijakan kota. Perlu koordinasi lintas wilayah, terutama dengan Jakarta dan Bogor, yang memiliki keterkaitan langsung dengan aliran sungai.
Bekasi berulang kali menjadi korban banjir. Tetapi dengan komitmen serius, transparansi, dan keberanian mengambil keputusan, pemerintah masih punya peluang mengubah narasi: dari kota langganan banjir menjadi kota yang berani menghadapi akar masalahnya.









